Secara etimologi, istilah “batik” berasal dari bahasa Jawa: translit. ambathik yang dihasilkan dari lakuran kata (amba) yang berarti “lebar” atau
“luas” (merujuk kepada kain), dan (nithik) yang berarti “membuat titik” dan kemudian berkembang menjadi istilah bahasa Jawa: translit. bathik, yang
berarti menghubungkan titik-titik menjadi gambar tertentu pada kain yang luas atau lebar. Kata dalam bahasa Jawa: translit. bathikan juga dapat
bermakna sebagai “menggambar” atau “menulis”. Istilah bathik kemudian diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi “batik” dengan menggantikan
bunyi huruf “-th” sebagai “-t” dikarenakan orang non-Jawa tidak bisa melafalkannya dengan mudah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “batik” didefinisikan sebagai kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau menerakan lilin (atau dalam bahasa Jawa: malam) pada kain itu, yang kemudian pengolahannya melalui proses tertentu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa “batik” dapat merujuk kepada sebuah proses maupun hasil jadi (bersifat bendawi) dari proses tersebut.
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-
perempuan Jawa pada masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga pada masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya “Batik Cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak “Mega Mendung”, di mana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.
Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga
tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga
keraton Yogyakarta dan Surakarta